Beranda Nasional Mampukah Prabowo Membuktikan Janji dan Ucapannya ?

Mampukah Prabowo Membuktikan Janji dan Ucapannya ?

1030
0
BERBAGI

“Rekam jejak Prabowo”

Tahun 2009 Sekjen Dewan Pertimbangan Organisasi HKTI Humuntar Lumban Gaol mengatakan bahwa Kinerja Prabowo Subianto selama menjabat sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dinilai tak memuaskan. Apa pasal ? banyak komitmen yang disampaikan Prabowo ketika berkampanye untuk menjadi Ketua HKTI ternyata tidak terealisasi setelah meraih jabatan tersebut. Prabowo juga menjanjikan peningkatkan pendapatan petani, yaitu menjamin harga yang diberikan dengan layak kepada petani dan membangun perekonomiam petani. Namun, realisasinya tak kelihatan. Ada juga Prabowo menjanjikan mendirikan pabrik pengolahan ubi kayu ke tapioka bagi para anggotanya yang petani ubi kayu di Sulawesi Selatan.  Begitu pula janjinya untuk membangun organisasi perusahaan yang akan menampung dan menjual hasil petani. Itu semua tidak terealisasi. Sebagaimana diketahui Prabowo Subianto memimpin HKTI pada 2004-2010.
Ketika masa jabatan Ketua Umum berakhir, yaitu pada sekitar pertengahan tahun 2010, terjadi perseteruan di tubuh HKTI yaitu didalam acara MuNas VII di Bali saat akan memilih Ketua untuk periode selanjutnya 2010-2015. Menurut versi kubu Prabowo dia secara aklamasi terpilih lagi menjadi Ketua Umum HKTI.  Namun kubu Oesman Sapta Odang (OSO) menganggap itu tidak syah. Yang syah itu ketua Umum HKTI adalah OSO dan hasil keputusan Munas ini langsung di daftarkan ke KemenHukHAM dan segera memperoleh pengesahan melalui SK MenKumHAMNomor : AHU-14.AH.01.06 . Tahun 2011 tertanggal 18 Januari 2011 tentang Pengesahan Himpunan.  Kubu Prabowo tidak terima dengan terbitnya surat pengesahan itu dan  kemudian menempuh jalur hukum dengan melayangkan gugatan ke PTUN. Kasus sengketa perebutan kursi kepemimpinan HKTI antara Prabowo Subiyanto melawan Oesman Sapta Odang (OSO)  masih berlangsung hingga saat ini. Artinya ada dua HKTI yang merasa paling syah mewakili petani dan nelayan.
Saya melihat kasus ini terlepas mana kubu yang benar atau salah. Yang pasti sebelumnya HKTI itu kepemimpinannya aman aman saja. Baru bermasalah setelah Prabowo memimpinnya. Saya meliat Prabowo tidak punya mental kepemimpinan demokratis. Kalaulah selama kepemimpinan Prabowo , HKTI mendapatkan manfaat dengan semakin berdaya dan mandirinya petani tentu semua akan mendukung Prabowo dengan mulus tanpa harus ada sengketa hukum dipengadilan perebutan siapa yang paling legitimasi. Era sekarang orang tidak bisa lagi di paksa patuh kepada pemimpin yang jelas jelas gagal mengembang amanah. Ini yang tidak disadari oleh Prabowo, yang menganggap kepemimpinan itu dapat dipaksakan.
Kiani.
Banyak pihak yang marah kepada saya karena ada dalam tulisan saya menyebut Prabowo punya hutang Rp.14,31 T ( berdasarkan Keputusan Pengadilan Niaga No. 20/PKPU/2011/PN Niaga : ). Menurut mereka hutang itu sudah lunas.Dasarnya adalah berita dari Republika. Menurut saya itu karena mereka orang awam yang tidak bisa membaca berita dengan benar. Dalam berita Republika tersebut disebutkan sebagai berikut “Namun pada bulan November 2011, semua masalah pembayaran utang sudah diselesaikan di Pengadilan Niaga dengan restrukturisasi utang.” Dalam berita itu ada istilah Restrukturisasi utang? Itu artinya hutang belum dilunasi tapi diberi keringanan oleh pengadilan agar Prabowo bisa membayarnya.Keringanan ini bisa dari segi waktu pembayaran bisa juga keringanan bunga atau yang biasa disebut dengan skema pembayaran hutang.
Untuk lebih jelasnya baiklah saya uraikan bagaimana sampai Prabowo terjerat hutang. Ketika Era Megawati sebagai Wapres, Taufik Kemas menugaskan Luhut Binsar Panjaitan ( LBP) untuk mencarikan solusi atas masalah Kiani Kertas (KK)  dan Kiani Lestari. Karena proyek ini dalam jangka panjang sangat strategis dan juga masalah utang yang harus diselesaikan agar negara tidak terlalu besar dirugikan. LBP menggandeng Hashim Djojohadikusumo untuk mengambil alih KK dan Kiani lestari. Hashim menempatkan Prabowo sebagai orang yang terlibat secara tidak langsung dalam proses pengambil alihan ini. Skema yang dipakai dalam pengambil alihan ini adalah LBO ( Leverage by out ) atau ambil alih perusahaan tidak menggunakan uang sendiri tapi pakai uang bank.
Aksi yan dilakukan adalah mengambil alih hutang KK di BNI dengan menarik hutang dari Bank Mandiri. Aksi ini dilakukan atas nama P.T. Anugra Cipta Investadengan menunjuk pemegang saham dan direktur nominee ( boneka). Setelah selesai proses LBO, PT Anugra Cipta Investa melakukan trasfer right ke PT. Energi Nusantara yang tidak terlibat sama sekali secara hukum dalam aksi pengambil alihan. Rencananya KK dan Kiani akan di refinancing melalui pelepasan saham kepada pihak Jepang. Yang sudah berminat ketika itu Marubeni dan Mitsubishi trading. Dari sini akan dapat melunasi hutang ke Bank Mandiri dan juga untung besar dalam bentuk capital gain.
Yang jadi masalah transaksi LBO P.T. Anugra Cipta Investa dengan Bank Mandiri menggunakan collateral dalam bentuk SBLC dari BNP Paribas. Bank Mandiri tahu bahwa SBLC itu tidak bisa di cairkan. Itu hanya sebagai credit enhancement. Kalau SBLC itu dijadikan collateral utama maka akan mempengarui rasio CAR dan 3L Bank Mandiri di BI. Makanya Bank Mandiri tidak menggunakan skema loan tapi hanya bertindak sebagai channeling bank melalui bank di Singapore. Artinya Bank Mandiri meng- transfer SBLC itu ke bank lain dan memberikan stop loss guarantee atas SBLC itu. Dengan demikian resiko ada pada Bank Mandiri bukan BNP Paribas sebagai bank penerbit. Sepintas transaksi ini aman dan tidak diketahui oleh BI. Aman bagi Mandiri karena setelah perusahaan diambil alih akan segera di jual ke Jepang  dan hasil penjualan itu untuk bayar hutang ke bank di singapore. Pejabat otoritas ketika itu hanya tahu bahwa Hashim dan Prabowo memang kaya raya.
Tapi apa yang terjadi kemudian ? Janji Kiani akan dijual kepada Jepang tidak dilaksanakan oleh Hashim. Ini sama saja meniupkan angin tornado ke Bank Mandiri yang teracam harus membayar hutang ke Bank di Singapore karena SBLC sebagai collateral dipastikan default akhir tahun. Ketika itu Dirut Kiani adalah LBP. Melihat situasi ini LBP sadar bahwa PS dan Hashim tidak komit. Dia mengundurkan diri sebagai Dirut. Benarlah, setahun kemudian, ada tagihan antar bank ke bank Mandiri dan BI menyatakan posisi transaksi antar bank itu adalah potential loss. BI langsung mendebit rekening Bank Mandiri di BI untuk melunasi komitmen ke bank di Singapore. Dampaknya Dirut Mandiri masuk penjara dan beberapa direksi diberhentikan.
Nama Hashim dan Prabowo bersih dari hukum pidana atas kasus default itu. Karena yang melakukan perikatan hukum adalah PT. Anugra Cipta Investa dimana baik Hashim maunpun Prabowo tidak ada namanya di perusahaan itu. Mengapa PT. Energi Nusantara tidak melaksanakan skenario ( exit  strategy )  melepas saham ke jepang agar dapat bayar hutang PT. Anugra Cipta Investa dan menyelamatkan Bank Mandiri dari default dengan bank di singapore ? Kita tidak tahu. Yang jelas ada pihak jadi korban dan ada pihak yang berpesta dari transaksi ini. Tapi karena Neraca Kiani sudah bolong akibat dipreteli maka Kiani dalam kondisi Insolvent atau hutang melebihi asset yang ada. Babak pertikaian dengan kreditur memasuki babak baru lagi. Kasus dimulai dengan ketidaksanggupan PT Kiani Kertas membayar utangnya kepada PT Multi Alphabet Dinamika. Penundaan pembayaran utang kemudian disetujui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan diumumkan di harian KOMPAS dan Kaltim Pos pada tanggal 20 Juni 2011.
Masalah besar terjadi, pengumuman itu berakibat pada munculnya 191 pihak kreditur yang mengklaim PT Kiani Kertas gagal bayar atas utang-utangnya. Empat dari 191 kreditur tersebut ternyata adalah perusahaan-perusahaan asing. Mereka adalah perusahaan raksasa internasional J.P. Morgan, Boschendal Investments Limited, Langass Offshore Inc, dan Credit Suisse. Keempat perusahaan asing tersebut bersama 3 perusahaan lokal memberikan utang senilai lebih dari Rp 7,9 triliun. Ketiga perusahaan asing tersebut termasuk sebagai kreditur separatis dengan tagihan separatis. Utang tersebut akan terus menjerat PT Kiani Kertas sampai tahun 2025. Bahkan sisa utang senilai USD 139 juta akan diselesaikan dengan pinjaman baru mulai tahun 2026 sampai saat yang belum ditentukan. Dengan demikian, belum diketahui pasti kapan jerat utang ini akan selesai, mengingat kondisi keuangan PT Kiani Kertas yang belum membaik sampai saat ini, terbukti dengan adanya demo karyawan yang di PHK dan tuntutan  pajak daerah yang belum dibayar, dengan alasan kondisi keuangan yang belum memungkinkan.
Menurut teman saya, seharusnya kasus ini tidak perlu terjadi bila commit melepas saham KK kepada exit buyer ( Marubeni ) setelah diambil alih. Tetapi karena rakus dan merasa tidak ada tanggung jawab atas skema financing maka menganggap asset yang dibeli dari utang itu dianggap asset pribadi.  Secara moral sulit dibenarkan. Apalagi karena kasus ini ada direktur bank sampai jadi korban.
Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI)
Awal tahun ada berita besar tentang Honggo Wendratno (HW) yang hilang begitu saja. Padahal tadinya dia aman saja di Singapore walau kasus dia termasuk mega skandal di era Gus Dur, Megawati , kemudian SBY. Ya sebabnya karena tidak ada perintah pengadilan memastikan dia tersangka. Kasus seputar HW berkaitan dengan Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Ceritanya begini. TPPI didirikan tahun 1995 Hashim Djojohadikusumo, bersama dengan Njoo Kok Kiong alias Al Njoo dan Honggo Wendratno, dengan komposisi saham: Hashim Djojohadikusumo 50% di TPPI, sisanya dimiliki oleh Al Njoo dan Honggo. TPPI ini mendirikan proyek pusat petrokimia yang dananya dari bank milik Hashim sendiri. Ketika terjadi kasus KLBI , Bank Hashim termasuk yang ditutup, dan Hashim harus bertanggung jawab. Tahun 1998 Hashim menyerahkan seluruh saham milik di TPPI kepada BPPN.
Kemudian Pemerintah membentuk Tuban Petro sebagai holding untuk membawahi 3 perusahaan milik Hashim Djojohadikusumo, yang salah satunya TPPI. Struktur saham TPPI menjadi Turban Petro (59%), Pertamina (15%) dan sisanya oleh kreditur asing. Di Tuban Petro Holding ada saham pemerintah sebesar 70% dan sisanya perwakilan pemilik lama, Honggo Wendratno. Tetapi hebatnya Hashim tidak begitu ikhlas assetnya diambil pemerintah. Makanya HW yang merupakan orang kepercayaannya di tempatkan di Tuban dengan menguasai sebagian kecil saham.Uang pembelian saham itu berasal dari utang kepada Bank Century yang akhirnya macet.
Hashim bertekad untuk membeli balik asset tersebut melalui BPPN, tapi pemerintah tak bersedia bernegoisasi dengan dirinya. Karena secara formal pemilik lama dilarang melakukan pembelian ulang. Tetapi HW yang telah ada didalam PT Tuban bersama pemerintah selalu menghambat setiap upaya konversi saham Tuban Petro atas TPPI. Karena HW berjanji akan melunasi hutang TPPI Rp 17,8 triliun termasuk Rp 6,6 triliun utang kepada Pertamina, Rp 1,54 triliun kepada Perusahan Pengelola Aset qq Menteri Keuangan, dan Rp 1, 35 triliun kepada BP Migas. Sehingga proses pengambil alihan TPPI tidak pernah settle.
Di era SBY, karena posisi HW ada di dalam Tuban holding yang bermitra dengan pemeritnah, dengan mudah dia mendapatkan kontrak Tahun 2009, SKK Migas melakukan proses penunjukan langsung penjualan kondensat bagian negara kepada PT TPPI. Ini jelas melanggar procedure. Karena tidak melalui ketentuan yakni Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-20/BP0000/2003-SO tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-SO tentang Pembentukan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara.
Sebetulnya kontrak ini untuk kerjasama memproduksi BBM untuk dijual kepada Pertamina, tetapi PT TPPI mengolah menjadi LPG. Hasil penjualan tidak pernah disetor ke kas negara, tetapi dianggap sebagai pelunasan hutang TPPI kepada Pertamina dengan harga mark up. Hebat ya. Negara punya tagihan dibayar pakai barangnya sendiri dengan harga mark up. Selama 10 tahun, Pertamina sudah merugi 22 triliun. Itu karena kedekatan HW dengan Hatta Rajasa dan Murez, yang menempatkan Amir Sambodo, sebagai direktur Tuban Holding. Yang jelas hutang HW di Bank Century tidak tersentuh hukum. Kasus seputar TPPI hanya dikenakan pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang sulit dibuktikan karena kita belum punya UU pembuktian terbalik.
Silahkan anda nilai sendiri…Ingat ” orang jahat bisa menang karena orang baik diam.” ( Edmund Burke)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here