Budayawan yang juga pendiri Majalah Tempo, Goenawan Mohamad, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Presiden Joko Widodo yang dinilai ingin memperpanjang kekuasaannya lewat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka. Kekecewaan itu disampaikan Goenawan di acara Rosi yang bertajuk “Rakyat Percaya Siapa: Jokowi, Ketua MK atau Gibran” di Kompas TV. Bahkan, Goenawan yang sebelumnya dikenal sebagai pendukung Jokowi tersebut menitikkan air mata ketika menceritakan keresahan hatinya.
Mula-mula, pembawa acara Rosiana Silalahi menanyakan bagaimana suasana hati Goenawan saat menuliskan surat kekecewaan atas sikap Jokowi.
Goenawan menyatakan dirinya merasa sangat berat. “Ya sangat berat. Berat sekali. Bukan karena saya memuja Jokowi. Karena mengharapkan sebenarnya, Indonesia punya pemimpin yang bisa diandalkan kata -katanya,” ujar Goenawan dilansir YouTube Kompas TV, Jumat (3/11/2023). Dia lantas menceritakan bahwa Indonesia banyak sekali mengalami trauma sejak 1965 hingga setelah reformasi.
Trauma itu terjadi karena pergantian kekuasaan yang berdarah, perlawanan terhadap rezim Orde Baru, penculikan aktivis, kerusuhan rasial, hingga kekerasan terhadap minoritas. “Itu kan banyak sekali trauma. Kan perlu suatu dasar kepercayaan bersama. Jangan lagi terulang,” ungkapnya. “Jadi ketika itu Pak Jokowi enggak bisa saya pegang lagi dan saya tidak melihat ada pemimpin lain, dan saya sampai sekarang belum lihat, saya sedih. Saya sedih lho,” katanya.
Goenawan lantas hendak melanjutkan kalimatnya. Namun, saat itu, matanya tampak berkaca-kaca. Pria 82 tahun itu mengungkapkan, sejak kecil dirinya diminta untuk menanamkan harapan terhadap Tanah Air Indonesia. Menurut dia, menjadi orang Indonesia bukan hanya sekedar nasib, melainkan juga membawa amanah bagi keselamatan bangsa. “Bukan permintaan kita (jadi orang Indonesia). Bukan memilih, tapi juga amanah. Karena begitu di tengah (perjalanan kehidupan) kita harus membikin (bangsa) kita selamat,” lanjut Goenawan sambil masih berkaca-kaca. Tampak di sudut matanya, air mata menggenang. Goenawan pun terdiam.
Rosiana Silalahi yang melihat perubahan mimik muka Goenawan kemudian menanyakan, kenapa dirinya seolah sangat patah hati dengan Presiden Jokowi. Dia kemudian menceritakan pengalaman dari rekannya, yakni Erry Riyana Hardjapamekas yang sempat bertemu Presiden Jokowi sebelum terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
Menurut Goenawan, saat itu Erry Riyana berbicara dengan Jokowi soal uji materi terkait syarat usia capres dan cawapres yang sedang berjalan MK. Saat itu, Presiden sempat menanyakan apa yang harus dia lakukan.
Karena saat itu MK belum membacakan putusan, maka Erry memberi saran agar Presiden Jokowi meminta Gibran tidak usah jadi maju sebagai cawapres.
“Pak Jokowi ini tanya, ‘Saya harus kerjakan apa?’ Gembira kan Eri, karena (Jokowi dianggap) mendengar (keresahan masyarakat),” ungkap Goenawan. “Kata Eri, “Gini aja Pak, kalau nanti MK sudah memutuskan, bahwa Gibran lolos, Bapak beritahu Gibran jangan maju, kamu kembali aja ke Solo dan tetap kembali ke PDI-P”,” lanjutnya. Saat itu, Presiden Jokowi memberi respons yang positif terhadap saran dari Erry.
Berdasarkan sikap Jokowi ketika itu, Erry merasa lega karena sarannya didengar dan akan ditindaklanjuti oleh Presiden. “Setelah itu enggak ada pernyataan soal itu. Karena itu dusta ya,” kata Goenawan. Kenyataannya, Gibran justru memanfaatkan putusan MK yang kontroversial itu untuk mendaftar sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Lalu siapa yang bisa kita percaya. KPK tidak bisa dipercaya lagi. MK tidak bisa dipercaya lagi. Presiden yang kita sayangi tidak bisa dipercaya lagi. Lalu siapa? Itu krisis yang serius,” ungkapnya. Pendiri Komunitas Salihara itu pun menilai ada potensi krisis yang lebih serius jika nantinya terjadi konflik di Pemilu 2024, sementara tidak ada wasit yang dapat dipercaya. “Sekarang bisa kah kita percaya kepada wasit yang dipercaya pemerintah? Kalau enggak ada wasit, (permainan) sepak bola saja bertengkar, apalagi ini,” katanya. “Apakah itu tidak merusak? Tidak menyebabkan generasi muda yang ingin berpolitik mengatakan bahwa politik itu tipu menipu, bukan pengabdian,” tambahnya.
Jokowi tidak bisa lagi dipercaya.